Syarat-syarat
Pelaksanaan Hibah Wasiat
Hibah dapat dikatakan
batal demi hukum ataupun dapat dimintakan pembatalannya, tergantung dari
syarat-syarat manakah yang dilanggar. Untuk menemukan kontruksi hukumnya, Pasal
1320 BW secara garis besar harus di baca sebagai berikut:
a. Sepakat,
mereka yang mengikat dirinya.
b. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan. Cakap disebut sebagai syarat Subjektif yaitu
syarat yang berkaitan atau ditujukan pada si subjek hukum atau orangnya,
apabila tidak memenuhi syarat-syarat atau unsure-unsur tersebut maka suatu
perjanjian dapat dimintakan pembatalannya.
b. Suatu
hal tertentu
c. Suatu
sebab yang halal. Sebab yang halal disebut syarat Objektif yaitu syarat yang
ditujukan pada objek hukum atau bendanya.
Tidak memenuhi
syarat-syarat atau unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian tersebut batal
demi hukum. Dengan demikian, apabila dikatakan suatu hibah batal demi hukum,
maka tidak perlu dilakukan permohonan pembatalannya kepada hakim (oleh si
pemberi hibah), karena secara yuridis hibah wasiat tersebut tidak pernah ada
dan konsekuensi-konsekuensi hukumnyapun tidak ada. Akan tetapi, apabila ada
pelanggaran syarat nomor 1 dan nomor 2 maka dapat dimintakan pembatalanya oleh si
pemberi hibah. Kata “dapat” dalam terminology hukum mengandung opsi yang
ditujukan kepada si pemberi hibah orang
yang paling berhak untuk melakukan proses pembatalannya melalui hakim di
pengadilan.
Hibah yang terlanjur
terproses dan penerima hibah adalah anak yang belum dewasa maka dikategorikan
sebagai tidak cakap secara hukum, dalam hal ini hibah wasiat tersebut
seharusnya disebutkan siapa pihak yang ditujukan sebagai walinya sampai anak
itu berusia dewasa atau telah menikah. Pertanyaan, apakah perlu diperlukan
penetapan pengadilan bagi orang tua untuk
mengembalikan objek hibahnya, maka kembali kepada nomor 2, cakap
sebagaimana telah diterangkan diatas maka hibah dapat dimintakan pembatalannya
melalui hakim di pengadilan.
KUH Perdata tidak menyebutkan secara tegas mengenai
syarat-syarat hibah. Akan tetapi, dengan melihat Pasal 1666 KUH Perdata maka
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa syarat-syarat hibah dalam KUH Perdata,
diantaranya adalah: Adanya Perjanjian, Penghibah, Penerima Hibah, dan Barang
Hibah.
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai syarat-syarat
hibah wasiat dalam KUHPerdata yang telah disebutkan diatas.
a.
Adanya Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa yang
dinamakan dengan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Subekti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
perjanjian oleh Buku III B.W adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan
harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi
tuntutan itu.
Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas
beban. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu perjanjian atas beban adalah
suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Penghibahan, dalam hal ini dapat
dikategorikan perjanjian dengan cuma-cuma atau biasa dinamakan dengan
perjanjian sepihak (unilateral).
Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud
perjanjian itu rumusan Rutten adalah sebagai berikut:
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi
sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung
dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan
untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak
lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbale
balik.”[1]
Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat
diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis
dan perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan.
Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya dalam
arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja
bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat
bukti bila sampai terjadipersengketaan.
Bila secara lisan sampai terjadi perselisihan, maka
sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, disamping harus dapat menunjukkan
sanksi-sanksi, juga I’tikad baik pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu.
Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum,
perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dimana untuk terjadinya atau
lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh
perbuatan orang atau orang-orang itu.
Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi
empat syarat, yaitu:
1.
Perizinan yang bebas dari orang-orang
yang mengikatkan diri.
Kedua belah pihak dalam
suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan
kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau
secara diam-diam.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian.
Kedua belah pihak harus
cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan dalam
KUH Perdata, beberapa golongan orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti
orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan dan perempuan yang telah
kawin.38
Menurut yurisprudensi
sekarang ini, perempuan yang sudah kawin cakapuntuk membuat persetujuan atau
dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.
3.
Suatu hal tertentu yang diperjanjikan.
Yang diperjanjikan
dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas
atau tertentu.
4. Suatu
sebab yang halal.
Hibah dibuat di hadapan notaris (merupakan suatu
keharusan), tetapi hal ini tentu akan menimbulkan kesukaran pada tempat-tempat
yang jauh sekali letaknya dengan tempat adanya kantor notaris. Maka dapat dimengerti
bahwa kadang-kadang hibah ini dibuat di hadapan pejabat pemerintahan setempat.
Akta hibah itu ditandatangani oleh pemberi hibah dan penerima hibah. Namun
demikian, suatu hibah terhadap barang-barang yang bergerak tidak memerlukan
suatu akta dan adalah sah dengan penyerahan belaka kepada penerima hibah atau
kepada seorang pihak ketiga yang menerima pemberian itu atas nama penerima
hibah. Seperti: seorang pemberi hibah memberikan sebuah arloji kepada penerima
hibah, maka hal tersebut tidak memerlukan suatu akta otentik yang dibuat di
hadapan seorang notaris.
b. Penghibah
Untuk menghibahkan seseorang harus sehat pikirannya,
harus sudah dewasa. Diadakan kekecualian dalam halnya seorang yang belum
mencapai usia genap 21 tahun, menikah dan pada kesempatan itu memberikan
sesuatu dalam suatu perjanjian perkawinan (Pasal 1677). Orang yang belum
mencapai usia 21 tahun itu diperkenankan membuat perjanjian perkawinan asal ia
dibantu oleh orang tuanya atau orang yang harus memberikan izin kepadanya untuk
melangsungkan perkawinan.
Tentang kecakapan untuk memberikan sesuatu sebagai
hibah setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah,
kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk itu, seperti
anak-anak di bawah umur, orang gila, atau orang yang berada di bawah
pengampuan.
Penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap
berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu barang yang
termasuk dalampenghibahan. Penghibahan
yang semacam ini, sekedar mengenai barang tersebut, dianggap sebagai batal
(Pasal 1668). Janji yang diminta oleh si penghibah bahwa ia tetap berkuasa
untuk menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, berarti bahwa hak
milik atas barang tersebut tetap ada padanya karena hanya seorang pemilik dapat
menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, hal itu dengan sendirinya
bertentangan dengan sifat dan hakikat penghibahan.
c. Penerima
Hibah
Untuk menerima suatu hibah, dibolehkan orang itu
belum dewasa, tetapi ia harus diwakili oleh orang tua atau wali. Undang-undang
hanya memberikan pembatasan dalam Pasal 1679, yaitu menetapkan bahwa orang yang
menerima hibah itu harus sudah ada (artinya: sudah dilahirkan) pada saat
dilakukannya penghibahan, dengan pula mengindahkan ketentuan Pasal 2 BW, yang
berbunyi: anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan
manakala kepentingan si anak itu menghendakinya.
Ada beberapa orang tertentu yang sama sekali
dilarang menerima penghibahan dari penghibah, yaitu:
1.
Orang yang menjadi wali atau pengampun
si penghibah.
2.
Dokter yang merawat penghibah ketika
sakit
3.
Notaris yang membuat surat wasiat milik
si penghibah.
d.
Barang Hibah
Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang-barang
yang sudah ada. Jika ia meliputi barang-barang yang baru akan ada di kemudian
hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal (Pasal 1667). Berdasarkan
ketentuan ini maka jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama
dengan suatu barang lain yang baru akan ada di kemudian hari, penghibahan yang
mengenai barang yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua
adalah tidak sah. Namun demikian, padi yang belum menguning disawah seluas satu
hektar dapat dihibahkan. Karena padi itu merupakan barang yang ada dan
merupakan sebagian harta benda milik pemberi hibah.
Setiap bagian dari harta benda milik pemberi
hibah dapat dihibahkan. Sebaliknya berbuat sesuatu dengan cuma-cuma, seperti:
mengetik naskah dengan disediakan kertas dan mesin tik oleh penulis naskah
tanpa diberi hadiah atau imbalan, berbuat dan tidak berbuat itu tidak merupakan
bagian dari harta benda.
[1]“Unsur-Unsur
Penyelenggaraan Hibah Wasiat Menurut Hukum Perdata” melalui http://www.library.upnvj.ac.id,
diakses pada tanggal 21 Juli 2012.
Kalo hibah yg diberikan oleh orang tua kepada anak tanpa sepengetahuan sebagian anak yg lainnya...sah atau tidak hibahnya.....tks
BalasHapusSaya juga punya problem masalah hibah yang di rekayasa oleh kakak tiri saya sampai akhirnya tanah warisan saya di jual ke orang lain..apa anda bisa bantu saya...makasih
BalasHapus