Tinjauan
Umum Tentang Hibah Wasiat
Hibah dalam bahasa Belanda adalah “Schenking”.
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, adalah: “Sesuatu persetujuan
dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak
dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah
yang menerima penyerahan itu.”[1]
Penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan Perjanjian cuma-cuma dalam
bahasa Belanda “Omniet”. Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada
satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra
prestasi sebagai imbalan. Perkataan “di waktu hidupnya” si Penghibah
adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain
yang dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai
kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik
kembali olehnya.
Wasiat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terdapat pada Pasal 874, wasiat disebut juga dengan testamen, dalam pasal 874
dapat dipahami bahwa wasiat, yaitu: “Suatu pernyataan dari seseorang tentang
apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.”
Berdasarkan asasnya suatu pernyataan yang demikian,
adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzildig) dan setiap waktu dapat ditarik
kembali oleh yang membuatnya. Dengan sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak
segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiatnya
itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Pasal 874 BW yang menerangkan
tentang arti wasiat atau testamen, memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa
isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Isi suatu testamen, tidak usah terbatas pada hal-hal
yang mengenai kekayaan harta benda saja. Dalam suatu testamen dapat juga dengan
sah dilakukan, penunjukan seorang wali untuk anak-anak si meninggal, pengakuan
seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan seorang
executeurtestamentair, yaitu seorang yang dikuasakan mengawasi dan mengatur
pelaksanaan testamen.
Selanjutnya, suatu legaat dapat juga digantungkan
pada suatu ketetapan waktu. Menurut bentuknya ada tiga macam testamen, yaitu :
a.
Openbar Testament, bentuk ini paling
banyak dipakai, dimana orang yang akan meninggalkan warisan dating menghadap
pada notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi menyatakan kehendaknya.
b.
Oligraphis Testament, suatu bentuk
testament yang dibuat/ditulis dengan tangan si pewaris sendiri, yang harus
disimpan atau diserahkan kepada notaris, dengan disaksikan oleh dua orang
saksi. Sebagai tanggal testament itu berlaku diambil tanggal akte penyerahan.
Penyerahan dapat terbuka atau tertutup. Bila tertutup, kelak si pewaris
meninggal dunia testament harus diserahkan oleh notaries kepada Balai Harta
Peninggalan.
c.
Testament Tertutup dan Rahasia, suatu
testament rahasia harus selalu tertutup atau disegel dan diserahkan kepada
notaries dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.[2]
Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk
Wetboek) dinamakan legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum
Waris, sedangkan penghibah ini adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya
tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah. Dengan demikian
Hibah menurut BW (Burgerlijk Wetboek) ada 2 (dua) macam, yaitu: hibah
dan hibah wasiat yang ketentuan hibah wasiat sering berlaku pula dalam
ketentuan penghibah.[3]
Hibah wasiat merupakan
suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan
semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta
peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah si pewaris
meninggal dunia.
Hibah wasiat dapat
dibuat oleh pewaris sendiri atau dibuat secara notariil. Yang mana Notaris
khusus diundang untuk mendengarkan ucapan terakhir itu dengan disaksikan oleh
dua orang saksi, dengan cara demikian maka hibah wasiat memperoleh bentuk akta
notaris dan disebut wasiat atau testamen. Dalam hal pembuatan akta ini Notaris
dapat memberikan nasehat kepada pewaris sehingga
akta wasiat yang dibuat tidak menyimpang
dari aturan – aturan yang telah ditetapkan yang dapat menyebabkan akta tersebut
cacat hukum.[4]
Wasiat atau juga disebut testamen adalah pernyataan
kehendak seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya setelah
ia meninggal dunia. Ia dapat memberikan harta kekayaannya kepada siapa pun yang
dikehendakinya. Karena hal demikian itu suatu hal yang khusus menyimpang dari
kebiasaan dan pemberian semacam itu harus ada pembuktian yang dapat diterima.
Maka pemberian itu dibentuk dalam suatu pesan kepada keluarganya. Dengan hibah
wasiat maka seseorang yang tidak berhak mewaris, atau yang tidak akan mendapat
harta warisan tertentu, ada kemungkinan mendapatkannya dikarenakan adanya pesan
atau amanat, hibah atau hibah wasiat dari pewaris ketika masih hidup.
Hukum waris menurut KUH Perdata mengenal peraturan
hibah wasiat ini dengan nama testamen yang diatur dalam Buku II bab XIII.
Tentang Ketentuan umum surat wasiat, kecakapan seseorang untuk membuat surat
wasiat atau untuk menikmati keuntungan dari surat wasiat, bentuk surat wasiat,
warisan pengangkatan waris, hibah wasiat, pencabutan dan gugurnya wasiat.
Dipertegas di dalam Pasal 875 BW yang menyebutkan
pengertian tentang surat wasiat, yaitu: “Surat wasiat atau testamen adalah
suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya
akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali.”
Testamen atau wasiat menurut Buku II bab XIII Pasal
875 KUH Perdata dapat berisi pengangkatan waris (erfstelling), atau
hibah wasiat (legaat). Erfstelling yaitu penetapan dalam testamen, yang
tujuannya bahwa seorang yang secara khusus ditunjuk oleh orang yang
meninggalkan warisan untuk menerima semua harta warisan atau sebagian
(setengah, sepertiga) dari harta kekayaannya (Pasal 954 KUH Perdata). Sedangkan
legaat adalah seorang yang meninggalkan warisan dalam testamen menunjuk
seseorang yang tertentu untuk mewarisi barang tertentu atau sejumlah barang
yang tertentu pula, misalnya suatu rumah atau suatu mobil atau juga
barang-barang yang bergerak milik orang yang meninggalkan warisan, atau hak
memetik hasil atas seluruh sebagian harta peninggalannya (Pasal 957 KUH
Perdata).[5]
Berdasarkan hibah wasiat maka seseorang yang
tidak berhak mewaris, atau yang tidak akan mendapat harta warisan tertentu, ada
kemungkinan mendapatkannya dikarenakan adanya pesan atau umanat, hibah atau
hibah wasiat dari pewaris ketika masih hidup. Di lingkungan masyarakat hal
tersebut dapat terjadi terhadap isteri dan atau anaknya yang keturunannya
rendah atau juga terhadap anak angkat dan anak akuan.
[1]Ali Afandi. 2000. Hukum Waris,
Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta, halaman 30.
[2]Titik Triwulan Tutik. 2008. Hukum
Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, halaman 271.
[3] Ibid., halaman 31
[4]Anisitus Amanat. 2001. Membagi
Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW. Jakarta: Rajawali Pers,
halaman 97.