Sabtu, 19 April 2014

ANAK ANGKAT MENURUT KUH PERDATA



Anak Angkat Manurut KUHPerdata
KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak, dalam beberapa pasal KUHPerdata hanya di jelaskan masalah perkawinan dengan istilah “Anak Luar Kawin” atau anak yang diakui (Erkiend). Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan tersendiri yaitu dalam Bab II Saatsblad Tahun 1917 nomor 129 sebagai ketentuan tertulis yang mengatur pengangkatan anak untuk golongan masyarakat timur asing.(Tionghoa).
Pasal 5 Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 yang dikutip dalam buku Soedharyo Soimin tersebut disebutkan bahwa bila seorang laki-laki kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik karena hubungan darah maupun karena pengangkatan, dapat meengangkat seseorang sebagai anak laki - lakinya.
Pasal 5 Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 dijelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan terhadap anak laki-laki, karena anak laki-laki merupakan sebagai penerus keturunan dari oarng tua angkatnya. Sedangkan pengangkatan anak perempuan tidak diperbolehkan dan batal demi hukum ( Pasal 15 Staatsblad ). Akan tetapi staatsblad tersebut telah mengalami perubahan dan perkembangan sejak tahun 1963 dengan di keluarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta nomor 588/1963 G yang sering disebut sebagai yurisprudensi untuk pengangkatan anak perempuan. sampai saat dengan perubahan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak.
Putusan-putusan dan Penetapan-penetapan peraturan perundang-undangan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa tujuan dari pengangkatan anak bukan hanya untuk meneruskan keturunan, tetapi juga untuk kepentingan si anak. Dengan demikian berdasarkan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung pengangka-tan anak terhadap anak perempuan  diperbolehkan dengan syarat sepanjang diakui
oleh hukum adat yang berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa.[1]
Perubahan tersebut tidak memandang dari golongan baik golongan eropa, timur asing maupun pribumi tetapi Pengangkatan anak pada saat ini bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undanagan.
Pasal 7 Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 disebutkan bahwa orang yang di angkat harus berusia paling sedikit delapan belas tahun lebih muda dari lakilaki, dan paling sedikit lima belas tahun lebih muda dari wanita yang bersuami atau janda, yang melakukan adopsi. Dari ketentuan tersebut, batasan usia hanya disebutkanselisih antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat dan tidak ada batasan apakah yang diangkat ituharus anak dari keluarga dekat atau luar keluarga atau juga orang asing. Hanya ditekankan, bahwa manakala yangdiangkat adalah orang yang sedarah, baik keluarga yang sah maupun keluarga luar kawin maka keluarga tadi karenaangkatanya pada moyang kedua belah pihak bersama haruslah memperoleh derajat keturunan yang sama pula denganderajat keturunannya, karena kelahiran sebelum ia diangkat.
Pengangkatan anak dalam Hukum Barat ( Perdata) hanya terjadi dengan akta Notaris, tata cara pembuatannya adalah sebagai berikut :
1.    Para pihak datang menghadap Notaris.
2.    Boleh dikuasakan, tetapi untuk itu harus didasarkan surat kuasa khusus yang dibubuhi materai.
3.    Pada akta dituangkan pernyataan persetujuan bersama antara orang tua kandung dengan orang tua angkat.
4.    Akta tersebut disebut ‘akta adopsi’.[2]

Akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut, bahwa status anak yang bersangkutan berubah menjadi seperti seorang anak yang sah dan hubungan keperdataan dengan orang tua kandungnya menjadi putus sama sekali. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1) jo.Pasal 14 Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129. Dengan demikian anak yang diangkat bersama-sama dengan anak kandung berhak mewaris. Jika pada saat pengangkatan anak yang dilakukan suami-isteri dan mereka tidak mempunyai anak yang sah, namun setelah pengangkatan anak kemudian dilahirkan anak-anak yang sah sebagai keturunan dari perkawinan mereka, maka demi hukum anak angkat dan anak kandung tersebut menjadi ahli waris golongan pertama.


[1]Ahmad Kamil dan M. Fauzan. Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, halaman 19-20.

[2]Ibid., halaman 24-25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar