Ketentuan
Dan Pembatalan Hibah Wasiat
a. Ketentuan
Hibah Wasiat
Menurut Hukum Barat (KUHPerdata) pembatasan dalam
hal membuat hibah wasiat yaitu tentang besar kecilnya harta warisan yang akan
dibagi-bagikan kepada ahli warism yang disebut “Ligitime Portie”, atau ”wettelijk
erfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang). Hal ini diatur dalam
Pasal 913-929 KUHPerdata.
Tujuan dari pembuatan Undang-undang dalam menetapkan
legitime portie ini adalah untuk menghindari dan melindungi anak si
wafat dari kecenderungan si wafat menguntungkan orang lain, demikian kata Asser
Meyers yang dikutip dalam buku oemarsalim.[1]
Ligitime Portie (bagian
mutlak) adalah bagian dari harta peninggalan atau warisan yang harus diberikan
kepada para waris dalam garis lurus, terhadap bagaimana si pewaris dilarang
menetapkan sesuatu baik yang berupa pemberian (Hibah) maupun hibah wasiat
(Pasal 913 KUH Perdata). Dengan demikian maka yang dijamin dengan bagian mutlak
atau Legitime Portie itu adalah para ahli waris dalam garis lurus
kebawah dan keatas (sering dinamakan “Pancer”). Dalam garis lurus kebawah,
apabila si pewaris itu hanya meninggalkan anak sah satu-satunya, maka bagian
mutlak baginya itu adalah setengah dari harta peninggalan. Jadi apa bila tidak
ada testamen maka anak satu-satunya itu mendapat seluruh harta warisan, jika
ada testamen anak satu-satunya itu dijamin akan mendapat setengah dari harta
peninggalan.
Tentang berapa besarnya legitieme portie bagi
anak-anak yang sah di tetapkan oleh Pasal 914 BW, sebagai berikut:
a.
Jika hanya ada seorang anak yang sah,
maka legitieme portie berjumlah separuh dari bagian yang
sebenar-benarnya, akan diperolehnya sebagai ahliwaris menurut Undang-Undang.
b.
Jika ada dua orang anak yang sah, maka
jumlah legitieme portie untuk masing-masing 2/3 dari bagian yang
sebenarnya akan diperolehnya sebagai ahliwaris menurut Undang-Undang.
c.
Jika ada tiga orang anak yang sah atau
lebih tiga orang, maka jumlah legitieme portie itu menjadi 3/4 dari
bagian yang sebenarnya akan diperoleh masing-masing sebagai ahli waris menurut
Undang-undang.[2]
Garis lurus keatas ( orang tua, kakek dan seterusnya
) bagian mutlak itu selamanya adalah setengah,yang menurut undang-undang
menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena
kematian. Perlu juga diperhatikan bahwa anak luar kawin (anak angkat) yang
telah diakui dijamin dengan jaminan mutlak,yaitu setengah dari bagian yang
menurut Undang–undang harus diperolehnya.
Seandainya tidak
ada keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas serta tidak ada
anak luar kawin yang telah diakui, maka hibah atau hibah wasiat boleh meliputi
seluruh harta warisan. Apabila ketentuan-ketentuan mengenai bagian mutlak
seperti yang dijelaskan diatas dilanggar, maka pewaris yang dijamin dengan
bagian mutlak itu dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan supaya hibah atau
hibah wasiat tersebut dikurangi, sehingga tidak melanggar ketentuan
undang-undang khususnya KUHPerdata. Jadi peraturan tentang bagian mutlak ini
pada hakekatnya merupakan pembatasan terhadap kebebasan orang membuat testamen.
b.
Pembatalan Hibah Wasiat
Setelah berlakunya
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada beberapa pasal yang menyangkut hibah itu
menguntungkan bagi orang yang mengajukan hibah tersebut. Diantara para ahli
waris dapat mengajukan pembatalan hibah ke pengadilan agama apabila hibah
tersebut merugikan bagian ahli waris (legitime porti) mereka, hal ini
berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.990.K/Sip/1974, Tanggal 6 April 1976.
Menurut hukum perdata,
hibah yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik
kembali dan dihapuskan kecuali sebagaimana dalam Pasal 1688 KUHPerdata, yakni :
a. Karena
orang yang menerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh orang yang memberi hibah, syarat ini biasanya berbentuk pembebanan kepada
yang menerima hibah.
b. Orang
yang menerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan suatu
kewajiban yang bertujuan menghilangkan jiwa orang yang member hibah atau suatu
kejahatan lain yang bertujuan menghilangkan atau mencelakakan orang yang
memberikan hibah.
c. Karena
orang yang menerima hibah menolak memberikan tunjangan kepada orang yang
memberikan hibah karena ia jatuh miskin.[3]
Penghibah dapat
menuntut hibah kembali, bebas dari beban hipotek beserta hasil-hasil dan
pendapatan yang diperoleh sipenerima hibah atas benda yang dihibahkan (Pasal
1689 KUHPerdata / BW).
Kedua benda yang
dihibahkan dapat tetap pada sipenerima hibah, apabila sebelumnya benda-benda
hibah tersebut telah didaftarkan lebih dahulu (Pasal 1690). Apabila penuntutan
kembali dilakukan oleh sipemberi hibah dan dikabulkan maka semua perbuatan
sipenerima hibah dianggab batal (Pasal 1690 KUHPerdata / BW). Tuntutan hukum
terhadapa sipenerima hibah gugur dengan lewatnya waktu satu tahun terhitung
mulai hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan tuntutan itu, dan dapat
diketahuinya hal itu oleh sipemberi hibah (Pasal 1692 KUHPerdata / BW).
Tuntutan hukum tidak
dapat dilakukan
oleh ahli waris si penghibah, kecuali apabila oleh si penghibah semula telah
diajukan tuntutan, ataupun orng ini telah meninggal dunia didalam satu tahun
setelah terjadinya peristiwa tuduhn tersebut.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar