Sabtu, 19 April 2014

KETENTUAN DAN PEMBATALAN HIBAH WASIAT


Ketentuan Dan Pembatalan Hibah Wasiat
a.    Ketentuan Hibah Wasiat
Menurut Hukum Barat (KUHPerdata) pembatasan dalam hal membuat hibah wasiat yaitu tentang besar kecilnya harta warisan yang akan dibagi-bagikan kepada ahli warism yang disebut “Ligitime Portie”, atau ”wettelijk erfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang). Hal ini diatur dalam Pasal 913-929 KUHPerdata.
Tujuan dari pembuatan Undang-undang dalam menetapkan legitime portie ini adalah untuk menghindari dan melindungi anak si wafat dari kecenderungan si wafat menguntungkan orang lain, demikian kata Asser Meyers yang dikutip dalam buku oemarsalim.[1]
Ligitime Portie (bagian mutlak) adalah bagian dari harta peninggalan atau warisan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus, terhadap bagaimana si pewaris dilarang menetapkan sesuatu baik yang berupa pemberian (Hibah) maupun hibah wasiat (Pasal 913 KUH Perdata). Dengan demikian maka yang dijamin dengan bagian mutlak atau Legitime Portie itu adalah para ahli waris dalam garis lurus kebawah dan keatas (sering dinamakan “Pancer”). Dalam garis lurus kebawah, apabila si pewaris itu hanya meninggalkan anak sah satu-satunya, maka bagian mutlak baginya itu adalah setengah dari harta peninggalan. Jadi apa bila tidak ada testamen maka anak satu-satunya itu mendapat seluruh harta warisan, jika ada testamen anak satu-satunya itu dijamin akan mendapat setengah dari harta peninggalan.
Tentang berapa besarnya legitieme portie bagi anak-anak yang sah di tetapkan oleh Pasal 914 BW, sebagai berikut:
a.    Jika hanya ada seorang anak yang sah, maka legitieme portie berjumlah separuh dari bagian yang sebenar-benarnya, akan diperolehnya sebagai ahliwaris menurut Undang-Undang.
b.    Jika ada dua orang anak yang sah, maka jumlah legitieme portie untuk masing-masing 2/3 dari bagian yang sebenarnya akan diperolehnya sebagai ahliwaris menurut Undang-Undang.
c.    Jika ada tiga orang anak yang sah atau lebih tiga orang, maka jumlah legitieme portie itu menjadi 3/4 dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh masing-masing sebagai ahli waris menurut Undang-undang.[2]
Garis lurus keatas ( orang tua, kakek dan seterusnya ) bagian mutlak itu selamanya adalah setengah,yang menurut undang-undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian. Perlu juga diperhatikan bahwa anak luar kawin (anak angkat) yang telah diakui dijamin dengan jaminan mutlak,yaitu setengah dari bagian yang menurut Undang–undang harus diperolehnya.
Seandainya tidak ada keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas serta tidak ada anak luar kawin yang telah diakui, maka hibah atau hibah wasiat boleh meliputi seluruh harta warisan. Apabila ketentuan-ketentuan mengenai bagian mutlak seperti yang dijelaskan diatas dilanggar, maka pewaris yang dijamin dengan bagian mutlak itu dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan supaya hibah atau hibah wasiat tersebut dikurangi, sehingga tidak melanggar ketentuan undang-undang khususnya KUHPerdata. Jadi peraturan tentang bagian mutlak ini pada hakekatnya merupakan pembatasan terhadap kebebasan orang membuat testamen.
b.   Pembatalan Hibah Wasiat
Setelah berlakunya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada beberapa pasal yang menyangkut hibah itu menguntungkan bagi orang yang mengajukan hibah tersebut. Diantara para ahli waris dapat mengajukan pembatalan hibah ke pengadilan agama apabila hibah tersebut merugikan bagian ahli waris (legitime porti) mereka, hal ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.990.K/Sip/1974, Tanggal 6 April 1976.
Menurut hukum perdata, hibah yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali dan dihapuskan kecuali sebagaimana dalam Pasal 1688 KUHPerdata, yakni :
a.    Karena orang yang menerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh orang yang memberi hibah, syarat ini biasanya berbentuk pembebanan kepada yang menerima hibah.
b.    Orang yang menerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan suatu kewajiban yang bertujuan menghilangkan jiwa orang yang member hibah atau suatu kejahatan lain yang bertujuan menghilangkan atau mencelakakan orang yang memberikan hibah.
c.    Karena orang yang menerima hibah menolak memberikan tunjangan kepada orang yang memberikan hibah karena ia jatuh miskin.[3]
Penghibah dapat menuntut hibah kembali, bebas dari beban hipotek beserta hasil-hasil dan pendapatan yang diperoleh sipenerima hibah atas benda yang dihibahkan (Pasal 1689 KUHPerdata / BW).
Kedua benda yang dihibahkan dapat tetap pada sipenerima hibah, apabila sebelumnya benda-benda hibah tersebut telah didaftarkan lebih dahulu (Pasal 1690). Apabila penuntutan kembali dilakukan oleh sipemberi hibah dan dikabulkan maka semua perbuatan sipenerima hibah dianggab batal (Pasal 1690 KUHPerdata / BW). Tuntutan hukum terhadapa sipenerima hibah gugur dengan lewatnya waktu satu tahun terhitung mulai hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan tuntutan itu, dan dapat diketahuinya hal itu oleh sipemberi hibah (Pasal 1692 KUHPerdata / BW).
Tuntutan hukum tidak dapat dilakukan oleh ahli waris si penghibah, kecuali apabila oleh si penghibah semula telah diajukan tuntutan, ataupun orng ini telah meninggal dunia didalam satu tahun setelah terjadinya peristiwa tuduhn tersebut.[4]


[1]Oemarsalim. 2000. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, Halaman 86
[2]Subekti, Op. Cit., halaman 114-115
[3] M.Idris Ramulyo.1993. Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 58
[4]Ibid.,, halaman 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar