KECAKAPAN UNTUK MEMBERI DAN MENERIMA HIBAH
Kecakapan membuat wasiat atau testament dan untuk menariknya
kembali diatur dalam Pasal 895 BW. Syarat pokok bagi seseorang untuk
dapat membuat atau cakap membuat wasiat atau testament pada umumnya
adalah sama dengan syarat pokok bagi orang untuk melakukan perbuatan hukum
yaitu bahwa orang itu harus mampu atau cakap untuk menentukan kemauannya secara
bebas atau merdeka, yaitu :
Testament berlaku ketika pewaris sudah meninggal dunia, selama
pewaris masih hidup, ia masih berhak untuk merubah atau mencabut testamentnya,
sehingga dapat dikatakan testament akan memiliki kekuatan hukum ketika
si pewaris meningggal dunia. Dan
Pasal 874 KUHPerdata (BW) mengandung suatu syarat bahwa isi pernyataan kemauan
terakhir (testamen) itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang.
Pembatasan penting, misalnya terletak dalam pasal-pasal tentang “legitieme
Portie” terutama diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata (BW), yaitu :
“Legitieme Portie atau bagian
mutlak adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada
ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-Undang, terhadap bagian mana si
yang meninggal dunia tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku
pembagian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.” [1]
Kecakapan untuk memberikan sesuatu hibah telah
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 1676, yaitu:
“Setiap orang
diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang
oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk itu”.
Selanjutnya
dalam Pasal 1678 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Dilarang
adalah penghibahan antara suami-isteri selama perkawinan”
Pasal 1678 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
melarang penghibahan antara suami-isteri selama perkawinan, namun ketentuan
tersebut tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian benda-benda bergerak yang
bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat kemampuan si Penghibah.
Tentang cara menghibahkan sesuatu telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam pasal di bawah ini:
1)
Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata:
“Tiada suatu
hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal,
dilakukan selainnya dengan akta notaris,yang aslinya disimpan oleh notaris
itu”.
2)
Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata:
“Tiada suatu
hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun,
selainnya mulai saat penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas diterima oleh
si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh
si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan
yang telah diberikan oleh si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya
dikemudian hari. Jika penerima hibah tersebut telah dilakukan di dalam suratnya
hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik,
kemudian yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu
si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang
terakhir hanya berlaku sejak saat penerima itu diberitahukan kepadanya”.[2]
Peraktek pelaksanaan hibah saat ini,
khususnya penghibahan atas tanah dan rumah, selalu dipedomani ketentuan Pasal
1682 dan Pasal 1687 KUHPerdata, yaitu adanya formalitas dalam bentuk akta
notaries. Sedangkan apabila benda yang dihibahkan berbentuk tanah yang sudah
bersertifikat, maka penghibahan harus dilakukan didepan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), didaerah mana tanah tersebut berada. Penghibahan terhadap
barang-barang yang bergerak dan tidak bergerak tidak ada formalitas yang harus
diikuti dan penghibahan itu sah dengan cara penyerahan langsung kepada yang
menerima hibah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar