Sabtu, 19 April 2014

KECAKAPAN UNTUK MEMBERI DAN MENERIMA HIBAH



KECAKAPAN UNTUK MEMBERI DAN MENERIMA HIBAH
Kecakapan membuat wasiat atau testament dan untuk menariknya kembali diatur dalam Pasal 895 BW. Syarat pokok bagi seseorang untuk dapat membuat atau cakap membuat wasiat atau testament pada umumnya adalah sama dengan syarat pokok bagi orang untuk melakukan perbuatan hukum yaitu bahwa orang itu harus mampu atau cakap untuk menentukan kemauannya secara bebas atau merdeka, yaitu :
Testament berlaku ketika pewaris sudah meninggal dunia, selama pewaris masih hidup, ia masih berhak untuk merubah atau mencabut testamentnya, sehingga dapat dikatakan testament akan memiliki kekuatan hukum ketika si pewaris meningggal dunia. Dan Pasal 874 KUHPerdata (BW) mengandung suatu syarat bahwa isi pernyataan kemauan terakhir (testamen) itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Pembatasan penting, misalnya terletak dalam pasal-pasal tentang “legitieme Portie” terutama diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata (BW), yaitu :
“Legitieme Portie atau bagian mutlak adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-Undang, terhadap bagian mana si yang meninggal dunia tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pembagian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.” [1]
Kecakapan untuk memberikan sesuatu hibah telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1676, yaitu:
“Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk itu”.
Selanjutnya dalam Pasal 1678 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:

“Dilarang adalah penghibahan antara suami-isteri selama perkawinan”

Pasal 1678 Kitab Undang-undang Hukum Perdata melarang penghibahan antara suami-isteri selama perkawinan, namun ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat kemampuan si Penghibah.
Tentang cara menghibahkan sesuatu telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam pasal di bawah ini:
1)   Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan akta notaris,yang aslinya disimpan oleh notaris itu”.
2)   Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Tiada suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selainnya mulai saat penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan oleh si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya dikemudian hari. Jika penerima hibah tersebut telah dilakukan di dalam suratnya hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik, kemudian yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang terakhir hanya berlaku sejak saat penerima itu diberitahukan kepadanya”.[2]
Peraktek pelaksanaan hibah saat ini, khususnya penghibahan atas tanah dan rumah, selalu dipedomani ketentuan Pasal 1682 dan Pasal 1687 KUHPerdata, yaitu adanya formalitas dalam bentuk akta notaries. Sedangkan apabila benda yang dihibahkan berbentuk tanah yang sudah bersertifikat, maka penghibahan harus dilakukan didepan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), didaerah mana tanah tersebut berada. Penghibahan terhadap barang-barang yang bergerak dan tidak bergerak tidak ada formalitas yang harus diikuti dan penghibahan itu sah dengan cara penyerahan langsung kepada yang menerima hibah.


[1]Mohd. Idris Ramulyo. 1993. Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 51.
[2] Ibid., halaman 154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar