DASAR HUKUM HIBAH WASIAT
Mengenai penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia,
telah diatur dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Adapun ketentuan tersebut adalah :
a.
Pada Pasal 874 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata: Segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah
kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekadar terhadap itu
dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.
b.
Pasal 875 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata: Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang
memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah
ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi.
c.
Pasal 896 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata: setiap orang dapat membuat atau menikmati keuntungan dari sesuatu
surat wasiat, kecuali mereka yang menurut ketentuan-ketentuan dalam bagian ini,
dinyatakan tak cakap untuk itu.
d.
Pasal 897 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata: Para belum dewasa yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun,
tak diperbolehkan membuat surat wasiat.
e.
Pasal 958 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata: Setiap Hibah Wasiat yang bersahaja dan tak bersyarat, memberi hak
kepada mereka yang dihibahwasiati, semenjak hari meninggalnya si yang
mewasiatkannya, untuk menuntut kebendaan yang di hibah wasiatkannya, hak mana
menurun kepada sekalian ahli waris atau pengganti haknya.
f.
Pasal
1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: Hibah hanyalah dapat mengenai
benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan
dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang sudah ada, bersama suatu
barang lain yang akan dikemudian hari, penghibahan mengenai yang pertama adalah
sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.
g.
Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata: Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk
menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk dalam
penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal.
Janji yang diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau
memberikan kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut,
tetap ada padanya karena hanya seseorang pemilik yang dapat menjual atau
memberikan barangnya kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya bertentangan
dengan sifat dan hakekat penghibahan. Sudah jelas, bahwa perjanjian seperti ini
membuat penghibahan batal, yang terjadi sebenarnya adalah hanya sesuatu
pemberian nikmat hasil. [1]
[1]M.Idris Ramulyo.1994. Perbandingan
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika, halaman 154-154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar