Sabtu, 19 April 2014

SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN HIBAH WASIAT



Syarat-syarat Pelaksanaan Hibah Wasiat
Hibah dapat dikatakan batal demi hukum ataupun dapat dimintakan pembatalannya, tergantung dari syarat-syarat manakah yang dilanggar. Untuk menemukan kontruksi hukumnya, Pasal 1320 BW secara garis besar harus di baca sebagai berikut:
a.    Sepakat, mereka yang mengikat dirinya.
b.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Cakap disebut sebagai syarat Subjektif yaitu syarat yang berkaitan atau ditujukan pada si subjek hukum atau orangnya, apabila tidak memenuhi syarat-syarat atau unsure-unsur tersebut maka suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalannya.
b.    Suatu hal tertentu
c.    Suatu sebab yang halal. Sebab yang halal disebut syarat Objektif yaitu syarat yang ditujukan pada objek hukum atau bendanya.
Tidak memenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian tersebut batal demi hukum. Dengan demikian, apabila dikatakan suatu hibah batal demi hukum, maka tidak perlu dilakukan permohonan pembatalannya kepada hakim (oleh si pemberi hibah), karena secara yuridis hibah wasiat tersebut tidak pernah ada dan konsekuensi-konsekuensi hukumnyapun tidak ada. Akan tetapi, apabila ada pelanggaran syarat nomor 1 dan nomor 2 maka dapat dimintakan pembatalanya oleh si pemberi hibah. Kata “dapat” dalam terminology hukum mengandung opsi yang ditujukan kepada si pemberi hibah  orang yang paling berhak untuk melakukan proses pembatalannya melalui hakim di pengadilan.
Hibah yang terlanjur terproses dan penerima hibah adalah anak yang belum dewasa maka dikategorikan sebagai tidak cakap secara hukum, dalam hal ini hibah wasiat tersebut seharusnya disebutkan siapa pihak yang ditujukan sebagai walinya sampai anak itu berusia dewasa atau telah menikah. Pertanyaan, apakah perlu diperlukan penetapan pengadilan bagi orang tua untuk  mengembalikan objek hibahnya, maka kembali kepada nomor 2, cakap sebagaimana telah diterangkan diatas maka hibah dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim di pengadilan.
KUH Perdata tidak menyebutkan secara tegas mengenai syarat-syarat hibah. Akan tetapi, dengan melihat Pasal 1666 KUH Perdata maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa syarat-syarat hibah dalam KUH Perdata, diantaranya adalah: Adanya Perjanjian, Penghibah, Penerima Hibah, dan Barang Hibah.
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai syarat-syarat hibah wasiat dalam KUHPerdata yang telah disebutkan diatas.
a.    Adanya Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa yang dinamakan dengan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Subekti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian oleh Buku III B.W adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Penghibahan, dalam hal ini dapat dikategorikan perjanjian dengan cuma-cuma atau biasa dinamakan dengan perjanjian sepihak (unilateral).
Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu rumusan Rutten adalah sebagai berikut:
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbale balik.”[1]
Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan.
Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadipersengketaan.
Bila secara lisan sampai terjadi perselisihan, maka sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, disamping harus dapat menunjukkan sanksi-sanksi, juga I’tikad baik pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu.
Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum, perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dimana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu.
Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:
1.    Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri.
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan dalam KUH Perdata, beberapa golongan orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan dan perempuan yang telah kawin.38
Menurut yurisprudensi sekarang ini, perempuan yang sudah kawin cakapuntuk membuat persetujuan atau dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.
3.    Suatu hal tertentu yang diperjanjikan.
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu.
4.    Suatu sebab yang halal.
Hibah dibuat di hadapan notaris (merupakan suatu keharusan), tetapi hal ini tentu akan menimbulkan kesukaran pada tempat-tempat yang jauh sekali letaknya dengan tempat adanya kantor notaris. Maka dapat dimengerti bahwa kadang-kadang hibah ini dibuat di hadapan pejabat pemerintahan setempat. Akta hibah itu ditandatangani oleh pemberi hibah dan penerima hibah. Namun demikian, suatu hibah terhadap barang-barang yang bergerak tidak memerlukan suatu akta dan adalah sah dengan penyerahan belaka kepada penerima hibah atau kepada seorang pihak ketiga yang menerima pemberian itu atas nama penerima hibah. Seperti: seorang pemberi hibah memberikan sebuah arloji kepada penerima hibah, maka hal tersebut tidak memerlukan suatu akta otentik yang dibuat di hadapan seorang notaris.
b.   Penghibah
Untuk menghibahkan seseorang harus sehat pikirannya, harus sudah dewasa. Diadakan kekecualian dalam halnya seorang yang belum mencapai usia genap 21 tahun, menikah dan pada kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu perjanjian perkawinan (Pasal 1677). Orang yang belum mencapai usia 21 tahun itu diperkenankan membuat perjanjian perkawinan asal ia dibantu oleh orang tuanya atau orang yang harus memberikan izin kepadanya untuk melangsungkan perkawinan.
Tentang kecakapan untuk memberikan sesuatu sebagai hibah setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah, kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk itu, seperti anak-anak di bawah umur, orang gila, atau orang yang berada di bawah pengampuan.
Penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalampenghibahan.  Penghibahan yang semacam ini, sekedar mengenai barang tersebut, dianggap sebagai batal (Pasal 1668). Janji yang diminta oleh si penghibah bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut tetap ada padanya karena hanya seorang pemilik dapat menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, hal itu dengan sendirinya bertentangan dengan sifat dan hakikat penghibahan.
c.    Penerima Hibah
Untuk menerima suatu hibah, dibolehkan orang itu belum dewasa, tetapi ia harus diwakili oleh orang tua atau wali. Undang-undang hanya memberikan pembatasan dalam Pasal 1679, yaitu menetapkan bahwa orang yang menerima hibah itu harus sudah ada (artinya: sudah dilahirkan) pada saat dilakukannya penghibahan, dengan pula mengindahkan ketentuan Pasal 2 BW, yang berbunyi: anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan manakala kepentingan si anak itu menghendakinya.
Ada beberapa orang tertentu yang sama sekali dilarang menerima penghibahan dari penghibah, yaitu:
1.    Orang yang menjadi wali atau pengampun si penghibah.
2.    Dokter yang merawat penghibah ketika sakit
3.    Notaris yang membuat surat wasiat milik si penghibah.
d.   Barang Hibah
Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang-barang yang sudah ada. Jika ia meliputi barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal (Pasal 1667). Berdasarkan ketentuan ini maka jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan suatu barang lain yang baru akan ada di kemudian hari, penghibahan yang mengenai barang yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah. Namun demikian, padi yang belum menguning disawah seluas satu hektar dapat dihibahkan. Karena padi itu merupakan barang yang ada dan merupakan sebagian harta benda milik pemberi hibah.
Setiap bagian dari harta benda milik pemberi hibah dapat dihibahkan. Sebaliknya berbuat sesuatu dengan cuma-cuma, seperti: mengetik naskah dengan disediakan kertas dan mesin tik oleh penulis naskah tanpa diberi hadiah atau imbalan, berbuat dan tidak berbuat itu tidak merupakan bagian dari harta benda.


[1]Unsur-Unsur Penyelenggaraan Hibah Wasiat Menurut Hukum Perdata” melalui http://www.library.upnvj.ac.id, diakses pada tanggal 21 Juli 2012.

2 komentar:

  1. Kalo hibah yg diberikan oleh orang tua kepada anak tanpa sepengetahuan sebagian anak yg lainnya...sah atau tidak hibahnya.....tks

    BalasHapus
  2. Saya juga punya problem masalah hibah yang di rekayasa oleh kakak tiri saya sampai akhirnya tanah warisan saya di jual ke orang lain..apa anda bisa bantu saya...makasih

    BalasHapus